Panoramic of Baliem Valley

Panorama dari salah satu distrik di Kabupaten Jayawijaya, dengan honai sebagai rumah adatnya.

Kaum Pria Suku Dani

Dua laki-laki dari suku Dani sedang melakukan kegiatan sehari-hari.

Bandar Udara Wamena

Terletak di Kabupaten Jayawijaya, Wamena. Merupakan satu-satunya akses transportasi menuju kota Wamena. Bandar udara ini memiliki ukuran landasan pacu 1.825 m x 30 m.

Lembah Baliem

Lembah Baliem merupakan lembah di pegunungan Jayawijaya. Lembah Baliem berada di ketinggian 1600 meter dari permukaan laut yang dikelilingi pegunungan dengan pemandangannya yang indah dan masih alami.

Keseharian sebagian Wanita Wamena

Salah satu mata pencaharian wanita suku Dani, mencari nafkah di pasar Jibama.

Tuesday 17 December 2013

Koteka dan Sali - Papua dalam Budaya Berbusana

Indonesia kaya akan beragam budaya yang tersebar di seluruh wilayahnya. Seperti salah satu suku yang berada di ujung timur Indonesia, Suku Dani di tanah Papua atau Irian Jaya.

Suku Dani memiliki keunikan yang begitu istimewa adat, bahasa, khususnya pakaian adat mereka. Kaum laki-laki asli suku Dani biasanya hanya menggunakan koteka sebagai (maaf) penutup kemaluannya. Koteka terbuat dari tanaman yang buahnya agak mirip dengan mentimun. Namun buah yang diolah menjadi koteka berbentuk agak panjang, yang mana jika buah tersebut semakin tua, maka kulitnya pun akan semakin keras. Sedangkan kaum wanita dari suku Dani sendiri, biasanya hanya menggunakan rok yang terbuat dari rumput kering atau biasa disebut dengan Sali.

Wamena terletak di ketinggian 1600 meter dari permukaan laut, dan dikelilingi oleh pegunungan sehingga cuaca di sekitarnya sangat dingin, bahkan kerapkali terjadi hujan es. Walaupun begitu, hingga tahun 1990-an, masyarakat suku Dani tetap nyaman dengan pakaian adat mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat suku Dani mulai menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar, karena banyaknya pendatang dari luar Papua yang bermukim di Wamena. Mereka mulai menggunakan baju dan celana dalam keseharian mereka. Walaupun begitu, masih ada masyarakat suku Dani di pedalaman yang hanya menggunakan koteka atau Sali. Ada juga masyarakat suku Dani yang kesehariannya bekerja di tempat-tempat wisata Wamena, mereka sudah menyesuaikan diri dengan pakaian pada umumnya. Namun, ketika ada pengunjung atau turis yang mungkin penasaran dengan pakaian adat asli papua, mereka akan kembali menggunakan pakaian adatnya tapi ada "fee" untuk itu. Namun demikian, mereka masih menggunakan pakaian adat mereka pada acara-acara adat yang biasa diadakan rutin setiap tahun untuk melestarikan budaya mereka.

Bagaimanapun, Koteka dan Sali termasuk pakaian adat dari salah satu suku di Indonesia dan merupakan keunikan dari beragam budaya Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika.


Monday 16 December 2013

Hemat Kata - Ciri Khas Bahasa Papua

Ada sebuah cerita lucu tentang percakapan antara mahasiswa Palembang dan mahasiswa Papua. Saat itu, mahasiswa Papua sedang sibuk mencari sandal yang dipakainya. Dia lupa meletakkan sandalnya dimana. Karena dia merasa kehilangan sandalnya, ia bertanya kepada temannya. “Sa pu sandal mana e?”, kata mahasiswa Papua. Temannya yang belum banyak tahu tentang bahasa Papua itu bingung mendengar pertanyaan tersebut. Dia bingung, mahasiswa Papua ini sebenarnya mencari sandal atau sapu. Nah, kebetulan mahasiswa Palembang sedang melihat sapu dan langsung menunjukkannya kepada mahasiswa Papua. Mahasiswa Papua tertawa terbahak-bahak. Mahasiswa pun tambah bingung, mengapa mahasiswa Papua itu tertawa.

Cerita di atas menunjukkan keunikan bahasa Papua, yaitu dilihat dari kosa katanya. Kata “saya” dalam bahasa Papua adalah “sa”, kata “punya” adalah “pu”. Sehingga ketika seseorang akan menyatakan kepemilikan, mereka menggunakan kata “sa pu”. Seperti contoh di atas, kata “sa pu sandal” memiliki arti “saya punya sandal”. Dalalm hal ini, kalimat itu memiliki makna “sandal saya”.Selain itu, tata bahasa Papua pun unik. Ada beberapa kata yang diimbuhi kata “kasih” di depannya dan kata “sudah” di akhir kata. Misalnya, ketika mereka ingin mengatakan “tutup pintu itu” maka mereka akan berkata “itu pintu kasih tutup sudah”. Untuk orang yang belum mengenal sama sekali kata tersebut akan merasa kebingungan dengan maksud kalimat tersebut.


Sedikit banyak, kita pasti pernah mendengar sekali atau dua kali seseorang yang berbicara dengan bahasa (atau lebih tepatnya dialek) papua. Yah, sudah mencari ciri khas dialek papua, dalam penggunaan kata banyak dilakukan penyingkatan seperti cerita di atas.

Untuk bahasa suku setempat, mereka punya bahasa daerah sendiri, bahasa suku Dani. Bahasa Daerah Suku Dani yang mendiami Daerah Lembah Baliem menggunakan Bahasa-bahasa yang masuk dalam bahasa Papua dari filum Trans-New Guinea. Bahasa Daerah yang digunakan pun mempunyai perbedaan dialog dan pengucapan antar satu wilayah dengan wilayah Daerah lainnya walaupun masih berada dalam jangkauan jarak tempuh yang boleh dikatakan masih dekat.

Secara garis basar Bahasa dani dikenal dalam tiga bagian besar bahasa yaitu, bahasa dani lembah (Daerah sekitar kota Wamena/Kab.Jayawijaya), Bahasa Dani Barat (Daerah Bag Barat kota Wamena (Kab.Lany Jaya, Kab.Puncak Jaya, dan Kab Tolikara) serta Bahasa Dani Timur /Bahasa Yali (Kab Yahokimo dan Kab Yalimo). Masyarakat Lokal di Daerah Lembah Baliem sendiri sebagian besar sudah dapat menggunakan bahasa Indonesia dgn dialek Wamena/Papua.

Berikut beberapa Kosa Kata Bahasa sehari-hari Suku Dani yang mendiami Daerah Lembah Baliem Wamena

  • Dua = Pere 
  • Ak = Kecil 
  • Eme = Sini 
  • Empat = Perenen pere 
  • Etai = Nyayian 
  • Helekir = Batu 
  • Hanomotok = Bagus
  • Hemulugar = Sedikit 
  • Hipere = Ubi 
  • Honai = Rumah Adat 
  • Huna = Udang 
  • Hunila = Dapur 
  • I = Air 
  • Isoak = alat minum yg terbuat dari Labu 
  • Kog = Besar 
  • Lani = Jalan 
  • Lauk = Selamat (buat kaum Wanita) 
  • Lima = Sikirak 
  • Moh = Matahari/Panas matahari 
  • Nait = Malas 
  • Naosa = Mama 
  • Nayak = Selamat (buat Kaum Lelaki) 
  • Neruak = Sapaan salam buat Saudara Perempuan 
  • Nopa = Kakek 
  • Nopase =Bapa 
  • 0 = Kayu 
  • Pikon = Alat musik 
  • Sabokogo = Semua 
  • Satu = Opakiat 
  • Sue = Barung 
  • Tiga = Henagan 
  • Wam = Babi 
  • Yak = Pangilan buat Pria remaja/pemuda 
  • Yeke= Anjing 
  • Yekerek = Panggilan buat anak lelaki
Contoh penggunaan :
Dulu, penduduk kulit putih masih menjadi minoritas, ketika masyarakat asli suku Dani melihat anak berkulit putih, maka mereka berkata : "Yekerek hanomotok, yekerek hanomotok" (arti : "anak ini cakep sekali", kira-kira seperti itu terjemahannya).

Ya, salah satu ragam bahasa daerah di Indonesia yang patut dibanggakan.

Itu sudah.

***

- dikutip dari berbagai sumber dengan pengubahan dan penambahan seperlunya :)

Anak Babi Jinak - Cerita Rakyat Wamena


Wamena diambil dari bahasa Dani, dimana terdiri dari dua kata, yaitu Wa dan Mena, yang berarti Babi Jinak, atau juga berarti Anak Babi.

Sebelum dinamakan Wamena, tempat ini bernama Ahumpua. Ada cerita rakyat Indonesia kenapa Ahumpua berubah nama menjadi Wamena, dan itulah asal-usul nama Wamena.

***

Pada suatu hari, gadis-gadis Ahumpua seperti biasanya menjaga anak-anak babi. Diantara gadis-gadis itu hanya ada satu gadis yang berani melakukan sesuatu dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Tempat dimana mereka menjaga babi adalah di pinggir kali Ahumpua (sekarang kali Baliem). Mereka menjaga anak-anak babi itu sejak pagi-pagi sekali. Dan pada siang harinya, gadis-gadis ini mandi di kali Ahumpua. Tapi sebelum mandi tiba-tiba ada orang berkulit putih muncul di pinggir kali Ahumpua. Gadis-gadis itu terkejut dan berteriak, "Eye… eye… eye... ap huluan… ap huluan…” (eye artinya minta tolong untuk menyelamatkan diri, ap huluan adalah orang berkulit putih. Jadi artinya, "tolong ada orang kulit putih"). Gadis-gadis itu langsung melarikan diri ke hutan, karena takut melihat orang kulit putih.

Hanya ada satu orang gadis yang berani menghadapi ap huluan. Ia tidak peduli apa yang terjadi nanti. Ap huluan tahu kalau gadis-gadis tadi takut kepadanya. Ia pun menjaga jarak dan memberikan salam dari jauh pada gadis pemberani itu. Salam yang disampaikan Ap huluan adalah bahasa isyarat dengan cara menggerak-gerakkan tangan yang berarti jangan takut… jangan takut, namun gadis ini tidak mengerti.

Akhirnya, Ap huluan mendekati si gadis dan memberikan salam dengan menjabat tangan gadis itu. Gadis itu membalas jabatan tangan tersebut. Setelah berjabat tangan, Ap huluan bertanya pada si gadis, “Apakah nama tempat ini?” 

Ketika Ap huluan menanyakan nama tempat, muncullah seekor anak babi, dan secara spontan si gadis berkata “Tu wamena…” yang artinya ini anak babi (tu adalah ini, ena adalah anak, dan wam adalah babi). Ap huluan segera mengerti dan mencatat dalam buku agendanya. Jadi, arti dari Wamena adalah anak babi. Telah terjadi kesalahpahaman antara Ap huluan dan si gadis, dan kesalahan tersebut tidak disadari oleh keduanya. 

Percakapan kemudian berlanjut masih dengan menggunakan gerakan-gerakan tangan. Setelah itu, Ap huluan memberikan salam dan segera berjalan kaki ke arah Ahumpua bagian timur. Sekarang arah Ap huluan ini disebut “Wamena Timur”. Setelah Ap huluan pergi, si gadis segera berlari ke rumahnya sambil memanggil teman-temannya yang sedang bersembunyi ketakutan. Kemudian dengan menangis si gadis bercerita kepada orang tuanya. Mendengar cerita si gadis ini ada yang percaya dan ada yang tidak. Bagi yang percaya, mereka segera menyiapkan alat-alat perang dan segera mengejar Ap huluan untuk membunuhnya. Namun beruntunglah, Ap huluan tidak ditemukan. Peristiwa ini merupakan awal proses pembangunan di daerah tersebut.

Suatu ketika lewatlah pesawat yang ditumpangi oleh orang-orang berkebangsaan Belanda dan mendarat di daerah Ahumpua dengan suara yang menakutkan. Berturut-turut kemudian pesawat-pesawat lain mendarat di daerah tersebut selama kurang lebih satu minggu. Akhirnya, daerah Ahumpua dikuasai Belanda. Orang-orang Belanda mulai menetap di Ahumpua. Mulailah orang-orang tersebut membangun rumah dengan atap dari seng. Nama daerah yang dulunya Ahumpua diganti menjadi Wamena, yang berarti anak babi. Pemberian nama ini akibat kesalahpahaman percakapan antara Ap huluan dengan si gadis. Itulah cerita asal mula kata Wamena.


***

Sunday 15 December 2013

Honai - Rumah Adat Papua

Honai adalah rumah adat masyarakat pegunungan tengah Papua.

Bentuk dan ukuran dari setiap rumah Honai itu terlihat sama. Dari permukaan tanah, tinggi rumah Honai mencapai lebih kurang 2 setengah meter. Bentuk rumah yang dibuat melingkar dan hanya memiliki satu pintu menjadi ciri khas tersendiri dari Honai. Bangunan rumah ini terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari ilalang yang dirangkai sedemikian rupa hingga tampak bertingkat.

Bentuk Honai yang bulat ini, dirancang untuk menghindari cuaca dingin karena tiupan angin yang kencang. Pada bagian tengah Honai dibuat perapian untuk menghangatkan tubuh di malam hari, sekaligus sebagai tempat untuk memasak/membakar ubi jalar, dalam bahasa Dani disebut "Hipere".

Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Honai biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).

Di dalam rumah Honai ataupun Ebei, tidak terlihat satupun perabotan rumah tangga. Honai memang menjadi tempat tinggal bagi masyarakat di perkampungan Wamena. Namun untuk tempat tidur, mereka hanya menggunakan rerumputan kering sebagai alas. Alas itu akan diganti dengan rerumputan baru yang diambil dari ladang ataupun kebun, jika telah terlihat kotor. Di dalam Honai juga tidak ada kursi ataupun meja, mereka menjadikan lantai rumah yang terbuah dari dari tanah sebagai alas duduk.

Di dalam rumah Honai juga tidak ada lampu listrik. Untuk penerangan, mereka membuat perapian dengan cara menggali tanah di dasar lantai rumah untuk dijadikan tungku. Karena Honai tidak memiliki jendela dan penerangan hanya berasal dari api tungku, suasana di dalam rumah itu akan terasa semakin gelap ketika malam tiba. 


Jika dibandingkan dengan bentuk rumah adat di daerah lainnya, rumah Honai terlihat sangat sederhana. Namun kesederhanaan itulah yang menjadikan Honai terkesan unik.

***